Saturday 23 January 2016

Tuhan Selalu Sediakan Penawarnya

Entah siapa yang telah menggerakkan.
Tetapi sepertinya, selalu ada turut andil- Nya dalam setiap urusan.

Bahkan daun yang gugur pun bergerak atas kehendak - Nya.
Apalagi hati manusia yang memang semestinya kembali kepada pencipta - Nya.

Betapa Ia menciptakan hati manusia untuk menjadi begitu dekat dengan - Nya.
Betapa Ia akan senantiasa mengikuti setiap prasangka hamba - Nya.

Adalah sia - sia ketika hati yang Ia titipkan tidak dipupuk baik - baik oleh pemiliknya.
Begitu kecewanya Ia ketika hati yang Ia amanahkan ditanami tumbuhan tidak baik oleh pemiliknya.

Bukankah Ia telah menciptakan pupuk dan tanaman yang baik bagi hati manusia.
Bukankah Ia telah menciptakan penawarnya ketika tanaman itu diganggu oleh sekelompok hama.

Begitulah Ia yang senantiasa menciptakan segalanya berdampingan.
Bukankah akan selalu ada penawar bagi segala penyakit hati yang saat ini sedang tertanam?

~mfzt~

CINTA YANG TAK PERNAH CUKUP

Cinta Rajawali kepada Angsa
"Jangan sedih sayangku,
Pelangi selalu datang."
Ujar Rajawali kepada Angsa.
"Mataku tak lagi bagus untuk melihat," ujar Angsa.
Rajawali mencopot matanya dan memberikannya kepada Angsa.
"Kakiku tak lagi kuat berdiri," seru Angsa lagi.
Rajawali mematahkan kakinya dan memberikannya kepada Angsa.
"Paruhku tak bisa merasakan apa-apa," kata Angsa lagi.
Rajawali memotong paruhnya dan memberikannya kepada Angsa."
"Mungkin darahku yang kurang, " ujar Angsa kemudian.
Rajawali menggoreskan luka di dadanya, mengucurkan darahnya untuk Angsa.
Angsa tetap saja sedih
Rajawali kini sekarat

Denny JA


Ibu penjual kerupuk "Menampar hati"

Suatu hari saya berkeliling sekitar kampus UIN Jakarta sekitar pukul 20.10 mencari makanan untuk memenuhi panggilan perut. Ketika saya melintasi jalan di depan kampus UIN Jakarta, saya melihat seorang ibu-ibu setengah baya sedang berjalan sambil menenteng kerupuk yang digantungkan dipundaknya. Saya sangat kasian melihatnya karena hari itu waktu sudah malam dan barang dagangannya masih banyak yang belum terjual. Lalu saya memanggil ibu itu dan berhenti di depannya.

Saya : Bu, tunggu bu.
Saya : Bu, kerupuk 1 bungkusnya berapa ?
Ibu : 15 ribu, de.
Saya : Beli 2 bungkus ya, bu.
Ibu : Iya ambil aja, de.
Saya : Ini uangnya, bu.
Ibu : Iya, de.
Ibu : 2 bungkus jadi 30 ribu ya, de ?
Saya : Iya, bu.

Lalu ibu itu sibuk meraba-raba tasnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang, awalnya saya santai aja melihatnya sambil menunggu uang kembaliannya, tapi saya hearan ketika melihat ibu itu terus mengeluarkan uang dan hampir semuanya dikeluarkan.
Ibu : Uangnya barusan berapa, de ?
Saya : 50 ribu, bu.
Ibu : Ini ambil aja kembaliannya, de.

Dari sana saya terkejut dan bengong seketika. Astagfirullah ternyata ibu ini tidak bisa melihat. Lamunan saya langsung buyar ketika ibu itu memanggil saya.

Ibu : De sudah diambil kembaliannya ?
Saya : Belum, bu.
Ibu : Ambil aja de kembaliannya ?

Lalu saya dengan reflek langsung menanyai ibu itu.

Saya : Bu gimana kalo saya ngasihin uangnya 10 ribu, terus saya ngambil uang kembaliannya 50 ribu. Kan ibu ga tau berapa uang yang saya kasih dan berpa yang saya ambil kembaliannya, nanti ibu bisa rugi dong ?
Ibu : Hanya Allah lah yang tau rezeki setiap orangnya, de. Kalau hari sekarang ibu harus rugi, ibu yakin hari berikutnya Allah pasti akan nyiapain rezeki lain buat ibu.

Subhanallah, mendengar penjelasan ibu itu, bulu kuduk saya langsung merinding dan hati saya serasa diiris-iris. Yang tadinya saya menunggu uang kembalian dari ibu itu, saya langsung mengurungkan niat saya untuk mengambil kembaliannya.

Ibu : De sudah diambil kembaliannya ?
Saya : Simpan aja kembaliannya bu, hari ini Allah udah mempersiapkan rezeki buat ibu.
Ibu : Alhamdu lillah, makasih ya de, semoga Allah membalas kebaikanmu, de.
Saya : Amin, saya pulang ya, bu.
Ibu : Iya, de.

Lebih baik berusaha daripada meminta-minta. Sebab Allah akan memberikan rezeki kepadanya bagi orang yang mau berusaha.

Karya rezky fathi

IKHLAS ITU BUKAN BERUJAR "AKU IKHLAS"

Seorang sahabat bertanya kepadaku perihal cara belajar ikhlas. Aku tertegun. Apalah dayaku menjawab pertanyaan itu sementara dalam hidup ini aku masih dihantui ketakutan-ketakutan yang tak jelas sebabnya. Ketakutan seperti: Apakah aku akan berhasil? Apakah aku akan wisuda sesuai target? Apakah aku akan menjadi lulusan yang berkompeten? Apakah aku akan diterima oleh  masyarakat?—itulah yang sebenarnya membuatku akhirnya bertanya, “Jika semua itu tidak tercapai, bisakah aku ikhlas?” Aku bahkan bertanya-tanya sendiri bagaimana agar bisa ikhlas. Kemudian aku diserang dengan pertanyaan itu. “Wi, bagaimana cara belajar ikhlas?”
Begini saja. Aku berusaha menenangkan diri sendiri sebelum menjawab pertanyaan sahabatku itu. Sebab aku tahu dia sedang terpuruk, aku harus melancarkan kata-kata—yang sebenarnya biasa saja—tetapi dapat menyemangati seseorang yang sedang putus asa. Oh, aku bukan ingin menandingi motivator andal di televisi. Aku memilih untuk melancarkan kata-kata motivasi bukan untuk menunjukkan bahwa aku bisa mengeluarkan kata-kata penyemangat. Tidak. Bukan itu.
Sesungguhnya aku sedang menasihati diriku sendiri.
Kalimat pertama yang aku ucapkan untuk menjawab pertanyaan itu adalah, “Ikhlas itu berpikir bahwa apa yang telah terjadi sekarang adalah sesuatu yang terbaik.” Klasik ya? Iya. Namun, mudahkah untuk menerapkannya? Ini butuh hati yang lapang.
Perihal ikhlas, aku pernah melakukannya; menerapkan kalimat klasik tadi. Enam bulan yang lalu, aku mengikuti tes masuk universitas di dua kota: Malang dan Bandung. Malang menjadi tujuanku yang utama, sementara Bandung menjadi cadangan—sekaligus menjadi keinginan papaku. Jadi dapat dikatakan bahwa aku berdoa semoga lulus di Malang dan (barangkali) papa berdoa semoga aku lulus di Bandung (dan tidak lulus di Malang). Kenyataan bahwa ternyata aku lulus di Malang tidak membuat aku sepenuhnya bahagia karena aku tahu aku pun belum mendapatkan restu sepenuhnya dari papa.
“Malang terlalu jauh. Kita lihat nanti. Kalau kamu lulus juga di Bandung, lebih baik pilih Bandung saja.”
Kalimat itu membuat aku jatuh dan berhenti berharap. Aku tetap ingin ke Malang, bukan Bandung. Waktu itu, pengumuman dari universitas Bandung belum keluar, tetapi mama dengan lembut mempengaruhi hatiku agar aku menuruti kata-kata papa karena perasaan mama berkata aku juga akan lulus di Bandung. “Jika lulus di Bandung, pilih Bandung saja....” kalimat itu terngiang-ngiang.
Aku tahu. Aku bukan apa-apa tanpa restu orang tua. Tiga malam aku lewati dengan perasaan kesal. “Kalau memang tidak boleh ke Malang, kenapa aku diizinkan pergi ujian waktu itu??” Aku masih tidak terima. Namun sehari setelahnya aku mulai berpikir positif, “Oh, mungkin ini rencana Tuhan yang paling baik. Barangkali Tuhan ingin aku menginjakkan kaki di Malang walaupun hanya sekali. Barangkali memang lebih baik aku ke Bandung, bukan Malang.”
Ajaibnya kata-kata yang aku karang sendiri itu membuatku kemudian berkata dalam hati, “Baiklah. Jika lulus di Bandung, aku akan memutuskan kuliah di Bandung. Di mana saja tidak masalah. Semua tempat kuliah sama.” Aku mengulang kata-kata itu walaupun di lubuk hati paling dalam aku masih menyimpan harap. Malang. Malang. Malang.
Kemudian akhirnya aku bisa merasakan pikiranku ringan.  Mungkinkah ini yang dinamakan ikhlas? Aku sudah menghapus harapan tentang Malang dalam otakku. Aku tahu keputusan orang tua adalah yang terbaik.
Anehnya, ketika aku sudah ikhlas—dan di dalam hatiku hanya ada kata Bandung, Bandung, Bandung—semuanya berputar. Hari itu jadwal pendaftaran ulang di Malang tinggal beberapa minggu lagi—dan pengumuman dari Bandung akan keluar sebentar lagi. Mama kemudian memastikan perihal restu. Jika memang papa tidak mengizinkan untuk ke Malang, maka tiket pesawat tidak akan dipesan segera. Tahukah apa yang dikatakan papa?
“Ya, kalau kamu mau kuliah di Malang,  berarti kita berangkat ke Malang. Buat apa ke Bandung.”
He??? Aku terperangah. Papa mengizinkanku? Mataku berkaca-kaca.
Restu itu kemudian dipertegas dengan, “Besok langsung pesan tiket.”
“Ha? Besok?” Aku masih kaget.
“Iya. Lalu kapan?  Kan kita tidak butuh lagi menunggu pengumuman dari Bandung.”
Waktu itu rasanya aku ingin menangis. Beginikah hadiah keikhlasan itu? Ketika kita telah ikhlas melepas harapan yang kita pupuk, kemudian Tuhan mengembalikannya dengan jalan yang tidak diduga-duga.
Begitulah. Sebab aku telah merasakannya, Kawan, maka aku bisa berkata demikian. Aku telah merasakan buah dari keikhlasan itu. Ikhlas itu dapat diwujudkan dalam penerimaan kita terhadap sesuatu yang telah terjadi. Ikhlas berarti kamu percaya bahwa Tuhan tahu itu yang terbaik. Tentang apa yang terjadi—yang membuatmu terpuruk itu—pasti ada hikmah yang disediakan Tuhan sebab Dia tak pernah memberikan sesuatu yang hampa. Begitu pula dengan ujian hidup. Dia tak pernah memberikan ujian yang melampaui batas kemampuan makhluk-Nya.
Ikhlas berarti menerima bahwa apa yang terjadi sekarang adalah resiko dari apa yang kita kerjakan di hari lalu. Lalu muncul pernyataanmu selanjutnya. “Aku sudah berusaha ikhlas tetapi semakin aku mencoba aku semakin merasakan sakit dan terpuruk.”
Begitulah, Kawan. Seperti halnya melupakan seseorang yang telah menyakiti kita. Semakin dilupakan, semakin teringat dan mengundang rasa sakit. Sama halnya dengan ikhlas. Ikhlas bukan dengan mengatakan “Aku ikhlas kok! Aku ikhlas!”  Itu yang akhirnya membuatmu tidak ikhlas. Sebab sekalinya kamu mengucapkan kata “ikhlas”, ada ribuan kata-kata lain di dalamnya yang akan mengingatkanmu tentang sebab keterpurukanmu yang lalu. Jadi lebih baik jangan sebut kata “ikhlas”. Satu kunci untuk ikhlas adalah berpikir positif. Memunculkan kata-kata positif dalam pikiran ternyata memiliki efek yang bagus—kata psikolog. Katakanlah, “Ini baik kok! Ini baik. Mana tahu karena kejadian ini ada kejutan yang bagus dari Tuhan.” Bagaimana? Terdengar lebih optimis yaa!
Aku bukan guru kehidupan yang telah merasakan pahit-asam-manis-nya hidup. Aku hanya terlalu sering mendengar keluh kesah orang lain yang membuatku kemudian belajar agar lebih tegar daripada orang tersebut. Aku bukan motivator yang bisa mengeluarkan kata-kata indah dan membuat orang lain bertepuk tangan. Aku hanya seorang pendoa yang terlalu sombong jika tidak menggantungkan harap kepada Sang Pendengar Harap.
Semoga kita tetap semangat dalam perjuangan. Sampai jumpa di gerbang kesuksesan kita masing-masing!
 karya Dewi syafrina

tentang harapan

Ada saatnya kita harus melepaskan harapan... kadang-kadang harapan adalah pengalih perhatian.

Sekejap kita mendadak buta membaca peta hidup kita sendiri: Kemana harus melangkah? Bagaimana harus melangkah? Dan kita berkawan rasa asing yang mengguncangkan.

Tapi, bukankah harapan-harapan memang tak pernah tergambar pada peta manapun?

Dalam sedih dan putus asa, mengapa seketika kita menjadi manusia paling tolol sedunia yang berharap tersesat di tengah hutan lalu kelaparan, tertimpa reruntuhan saat gempa bumi paling hebat, tertabrak kereta api hingga mati, atau apa saja marabahaya yang paling gila?

Demikian tolol kita yang ingin tenggelam dalam kesedihan-kesedihan, kita yang percaya diri berlebihan dengan merasa sanggup untuk sampai pada titik terendah dari sebuah penderitaan—benarkah kita bisa melampaui kesedihan manapun, hingga kosakata bernama derita-luka-lara-nestapa-bahaya tak lagi memberikan akibat apa-apa pada kehidupan kita? Aku menyangsikannya. Sebab Tuhan tak pernah berlebihan, cobaan berat hanya diberikan kepada mereka yang kuat. Dan Tuhan tak akan membebankan sesuatu melampaui kesanggupan kita menjalaninya...

Kalau kematianku akan membukakan matanya dan membuatnya mengerti, aku ingin pergi...“ katamu. Lalu kau segera mencari cara untuk pura-pura ingin bunuh diri, barangkali agar dunia kasihan padamu? Ah, kalaupun kau sungguh-sungguh ingin mati, apakah masalah dan penderitaan akan selesai setelah kau pergi?

Aku menyangsikannya.

Percayalah, kesedihan adalah hadiah—agar pada saatnya kita dihibur dengan cara paling membahagiakan. Seringkali kita memang dibuat tak mengerti sebab kita memang tak perlu mengerti... sering kali hidup memang harus dilanjutkan dengan cara yang tak kita inginkan...

Tapi, percayalah pada waktu: Semua pasti berlalu, yang tersisa tinggal kenangan...

Mencintai adalah juga soal menemukan sudut pandang

Yang sering luput kita sadari dalam 'mencintai' adalah bahwa harapan-harapan yang kita reka dalam kepala kadangkala mengacaukan sudut pandang kita.
Misalnya dalam hubungan rumah tangga atau relasi kita dengan orangtua. Sebagai manusia, tentu kita ingin dicintai dengan cara tertentu, tergantung imajinasi masing-masing. Sayangnya, orang lain, suami atau orangtua, misalnya, mungkin mencintai kita dengan cara yang berbeda.
Jika hal itu terjadi, mungkin kita kecewa, kita merasa hidup kita tidak bahagia, atau membuat kita mengandaikan 'kehidupan yang lain' yang sama sekali tidak kita miliki. Padahal, jika kita sadar: Hanya karena seseorang tidak mencintaimu seperti cara yang kamu inginkan, tidak berarti ia tidak memberikan segala yang terbaik yang dimilikinya untukmu!
Maka, di sini, cinta selalu memerlukan banyak sudut pandang: Seandainya engkau bisa tahu seberapa besar dan seberapa dalam perasaan seseorang dalam mencintaimu, kau akan kehilangan semua cara untuk mengucap syukur dan terima kasih.
Mari memberi jarak pada harapan yang berlebihan, karena seringkali harapan-harapan adalah pengalih perhatian, bukan?