Saturday 23 January 2016

IKHLAS ITU BUKAN BERUJAR "AKU IKHLAS"

Seorang sahabat bertanya kepadaku perihal cara belajar ikhlas. Aku tertegun. Apalah dayaku menjawab pertanyaan itu sementara dalam hidup ini aku masih dihantui ketakutan-ketakutan yang tak jelas sebabnya. Ketakutan seperti: Apakah aku akan berhasil? Apakah aku akan wisuda sesuai target? Apakah aku akan menjadi lulusan yang berkompeten? Apakah aku akan diterima oleh  masyarakat?—itulah yang sebenarnya membuatku akhirnya bertanya, “Jika semua itu tidak tercapai, bisakah aku ikhlas?” Aku bahkan bertanya-tanya sendiri bagaimana agar bisa ikhlas. Kemudian aku diserang dengan pertanyaan itu. “Wi, bagaimana cara belajar ikhlas?”
Begini saja. Aku berusaha menenangkan diri sendiri sebelum menjawab pertanyaan sahabatku itu. Sebab aku tahu dia sedang terpuruk, aku harus melancarkan kata-kata—yang sebenarnya biasa saja—tetapi dapat menyemangati seseorang yang sedang putus asa. Oh, aku bukan ingin menandingi motivator andal di televisi. Aku memilih untuk melancarkan kata-kata motivasi bukan untuk menunjukkan bahwa aku bisa mengeluarkan kata-kata penyemangat. Tidak. Bukan itu.
Sesungguhnya aku sedang menasihati diriku sendiri.
Kalimat pertama yang aku ucapkan untuk menjawab pertanyaan itu adalah, “Ikhlas itu berpikir bahwa apa yang telah terjadi sekarang adalah sesuatu yang terbaik.” Klasik ya? Iya. Namun, mudahkah untuk menerapkannya? Ini butuh hati yang lapang.
Perihal ikhlas, aku pernah melakukannya; menerapkan kalimat klasik tadi. Enam bulan yang lalu, aku mengikuti tes masuk universitas di dua kota: Malang dan Bandung. Malang menjadi tujuanku yang utama, sementara Bandung menjadi cadangan—sekaligus menjadi keinginan papaku. Jadi dapat dikatakan bahwa aku berdoa semoga lulus di Malang dan (barangkali) papa berdoa semoga aku lulus di Bandung (dan tidak lulus di Malang). Kenyataan bahwa ternyata aku lulus di Malang tidak membuat aku sepenuhnya bahagia karena aku tahu aku pun belum mendapatkan restu sepenuhnya dari papa.
“Malang terlalu jauh. Kita lihat nanti. Kalau kamu lulus juga di Bandung, lebih baik pilih Bandung saja.”
Kalimat itu membuat aku jatuh dan berhenti berharap. Aku tetap ingin ke Malang, bukan Bandung. Waktu itu, pengumuman dari universitas Bandung belum keluar, tetapi mama dengan lembut mempengaruhi hatiku agar aku menuruti kata-kata papa karena perasaan mama berkata aku juga akan lulus di Bandung. “Jika lulus di Bandung, pilih Bandung saja....” kalimat itu terngiang-ngiang.
Aku tahu. Aku bukan apa-apa tanpa restu orang tua. Tiga malam aku lewati dengan perasaan kesal. “Kalau memang tidak boleh ke Malang, kenapa aku diizinkan pergi ujian waktu itu??” Aku masih tidak terima. Namun sehari setelahnya aku mulai berpikir positif, “Oh, mungkin ini rencana Tuhan yang paling baik. Barangkali Tuhan ingin aku menginjakkan kaki di Malang walaupun hanya sekali. Barangkali memang lebih baik aku ke Bandung, bukan Malang.”
Ajaibnya kata-kata yang aku karang sendiri itu membuatku kemudian berkata dalam hati, “Baiklah. Jika lulus di Bandung, aku akan memutuskan kuliah di Bandung. Di mana saja tidak masalah. Semua tempat kuliah sama.” Aku mengulang kata-kata itu walaupun di lubuk hati paling dalam aku masih menyimpan harap. Malang. Malang. Malang.
Kemudian akhirnya aku bisa merasakan pikiranku ringan.  Mungkinkah ini yang dinamakan ikhlas? Aku sudah menghapus harapan tentang Malang dalam otakku. Aku tahu keputusan orang tua adalah yang terbaik.
Anehnya, ketika aku sudah ikhlas—dan di dalam hatiku hanya ada kata Bandung, Bandung, Bandung—semuanya berputar. Hari itu jadwal pendaftaran ulang di Malang tinggal beberapa minggu lagi—dan pengumuman dari Bandung akan keluar sebentar lagi. Mama kemudian memastikan perihal restu. Jika memang papa tidak mengizinkan untuk ke Malang, maka tiket pesawat tidak akan dipesan segera. Tahukah apa yang dikatakan papa?
“Ya, kalau kamu mau kuliah di Malang,  berarti kita berangkat ke Malang. Buat apa ke Bandung.”
He??? Aku terperangah. Papa mengizinkanku? Mataku berkaca-kaca.
Restu itu kemudian dipertegas dengan, “Besok langsung pesan tiket.”
“Ha? Besok?” Aku masih kaget.
“Iya. Lalu kapan?  Kan kita tidak butuh lagi menunggu pengumuman dari Bandung.”
Waktu itu rasanya aku ingin menangis. Beginikah hadiah keikhlasan itu? Ketika kita telah ikhlas melepas harapan yang kita pupuk, kemudian Tuhan mengembalikannya dengan jalan yang tidak diduga-duga.
Begitulah. Sebab aku telah merasakannya, Kawan, maka aku bisa berkata demikian. Aku telah merasakan buah dari keikhlasan itu. Ikhlas itu dapat diwujudkan dalam penerimaan kita terhadap sesuatu yang telah terjadi. Ikhlas berarti kamu percaya bahwa Tuhan tahu itu yang terbaik. Tentang apa yang terjadi—yang membuatmu terpuruk itu—pasti ada hikmah yang disediakan Tuhan sebab Dia tak pernah memberikan sesuatu yang hampa. Begitu pula dengan ujian hidup. Dia tak pernah memberikan ujian yang melampaui batas kemampuan makhluk-Nya.
Ikhlas berarti menerima bahwa apa yang terjadi sekarang adalah resiko dari apa yang kita kerjakan di hari lalu. Lalu muncul pernyataanmu selanjutnya. “Aku sudah berusaha ikhlas tetapi semakin aku mencoba aku semakin merasakan sakit dan terpuruk.”
Begitulah, Kawan. Seperti halnya melupakan seseorang yang telah menyakiti kita. Semakin dilupakan, semakin teringat dan mengundang rasa sakit. Sama halnya dengan ikhlas. Ikhlas bukan dengan mengatakan “Aku ikhlas kok! Aku ikhlas!”  Itu yang akhirnya membuatmu tidak ikhlas. Sebab sekalinya kamu mengucapkan kata “ikhlas”, ada ribuan kata-kata lain di dalamnya yang akan mengingatkanmu tentang sebab keterpurukanmu yang lalu. Jadi lebih baik jangan sebut kata “ikhlas”. Satu kunci untuk ikhlas adalah berpikir positif. Memunculkan kata-kata positif dalam pikiran ternyata memiliki efek yang bagus—kata psikolog. Katakanlah, “Ini baik kok! Ini baik. Mana tahu karena kejadian ini ada kejutan yang bagus dari Tuhan.” Bagaimana? Terdengar lebih optimis yaa!
Aku bukan guru kehidupan yang telah merasakan pahit-asam-manis-nya hidup. Aku hanya terlalu sering mendengar keluh kesah orang lain yang membuatku kemudian belajar agar lebih tegar daripada orang tersebut. Aku bukan motivator yang bisa mengeluarkan kata-kata indah dan membuat orang lain bertepuk tangan. Aku hanya seorang pendoa yang terlalu sombong jika tidak menggantungkan harap kepada Sang Pendengar Harap.
Semoga kita tetap semangat dalam perjuangan. Sampai jumpa di gerbang kesuksesan kita masing-masing!
 karya Dewi syafrina

No comments:

Post a Comment