Thursday 6 August 2015

aku ingin anak anakku menirumu

(RENUNGAN UNTUK PARA ORG TUA)
AKU INGIN ANAK-KU MENIRU-MU


Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... Ketika lahir,
anak lelakiku gelap benar kulitnya, Lalu
kubilang pada ayahnya: “Subhanallah, dia
benar-benar mirip denganmu ya!”
Suamiku menjawab:
“Bukankah sesuai keinginanmu? Kau yang
bilang kalau anak lelaki ingin seperti aku.”
Aku mengangguk. Suamiku kembali bekerja
seperti biasa. Ketika bayi kecilku berulang
tahun pertama, aku mengusulkan
perayaannya dengan mengkhatamkan Al
Quran di rumah Lalu kubilang pada suamiku:
“Supaya ia menjadi penghafal Kitabullah
ya,Yah.” Suamiku menatap padaku seraya
pelan berkata:
“Oh ya. Ide bagus itu.”
Bayi kami itu, kami beri nama Ahmad,
mengikuti panggilan Rasulnya. Tidak berapa
lama, ia sudah pandai memanggil-manggil
kami berdua: Ammaa. Apppaa. Lalu ia
menunjuk pada dirinya seraya berkata:
Ammat! Maksudnya ia Ahmad. Kami berdua
sangat bahagia dengan kehadirannya.
Ahmad tumbuh jadi anak cerdas, persis
seperti papanya. Pelajaran matematika
sederhana sangat mudah dikuasainya. Ah,
papanya memang jago matematika. Ia
kebanggaan keluarganya. Sekarang pun
sedang S3 di bidang Matematika.
Ketika Ahmad ulang tahun kelima, kami
mengundang keluarga. Berdandan rapi kami
semua. Tibalah saat Ahmad menjadi bosan
dan agak mengesalkan. Tiba-tiba ia minta
naik ke punggung papanya.
Entah apa yang menyebabkan papanya begitu
berang, mungkin menganggap Ahmad sudah
sekolah, sudah terlalu besar untuk main
kuda-kudaan, atau lantaran banyak tamu dan
ia kelelahan. Badan Ahmad terhempas
ditolak papanya, wajahnya merah, tangisnya
pecah, Muhammad terluka hatinya di hari
ulang tahunnya kelima.
Sejak hari itu, Ahmad jadi pendiam. Murung
ke sekolah, menyendiri di rumah. Ia tak lagi
suka bertanya, dan ia menjadi amat mudah
marah. Aku coba mendekati suamiku, dan
menyampaikan alasanku. Ia sedang
menyelesaikan papernya dan tak mau
diganggu oleh urusan seremeh itu, katanya.
Tahun demi tahun berlalu. Tak terasa Ahmad
telah selesai S1. Pemuda gagah, pandai dan
pendiam telah membawakan aku seorang
mantu dan seorang cucu. Ketika lahir, cucuku
itu, istrinya berseru sambil tertawa-tawa
lucu:
“Subhanallah! Kulitnya gelap, Mas, persis
seperti kulitmu!”
Ahmad menoleh dengan kaku, tampak ia
tersinggung dan merasa malu.
“Salahmu. Kamu yang ingin sendiri, kan.
Kalau lelaki ingin seperti aku!”
Di tanganku, terajut ruang dan waktu. Terasa
ada yang pedih di hatiku. Ada yang
mencemaskan aku.
Cucuku pulang ke rumah, bulan berlalu.
Kami, nenek dan kakeknya, datang bertamu.
Ahmad kecil sedang digendong ayahnya.
Menangis ia. Tiba-tiba Ahmad anakku
menyergah sambil berteriak menghentak,
“Ah, gimana sih, kok nggak dikasih pampers
anak ini!” Dengan kasar disorongkannya bayi
mungil itu.
Suamiku membaca korannya, tak tergerak
oleh suasana. Ahmad, papa bayi ini, segera
membersihkan dirinya di kamar mandi. Aku,
wanita tua, ruang dan waktu kurajut dalam
pedih duka seorang istri dan seorang ibu.
Aku tak sanggup lagi menahan gelora di dada
ini. Pecahlah tangisku serasa sudah berabad
aku menyimpannya. Aku rebut koran di
tangan suamiku dan kukatakan padanya:
“Dulu kau hempaskan Ahmad di lantai itu!
Ulang tahun ke lima, kau ingat? Kau tolak ia
merangkak di punggungmu! Dan ketika aku
minta kau perbaiki, kau bilang kau sibuk
sekali. Kau dengar? Kau dengar anakmu tadi?
Dia tidak suka dipipisi. Dia asing dengan
anaknya sendiri!”
Allahumma Shali ala Muhammad. Allahumma
Shalli alaihi wassalaam. Aku ingin anakku
menirumu, wahai Nabi.
Engkau membopong cucu-cucumu di
punggungmu, engkau bermain berkejaran
dengan mereka Engkau bahkan menengok
seorang anak yang burung peliharaannya
mati. Dan engkau pula yang berkata ketika
seorang ibu merenggut bayinya dari
gendonganmu,
“Bekas najis ini bisa kuseka, tetapi apakah
kau bisa menggantikan saraf halus yang
putus di kepalanya?”
Aku memandang suamiku yang terpaku.
Aku memandang anakku yang tegak diam
bagai karang tajam. Kupandangi keduanya,
berlinangan air mata.
Aku tak boleh berputus asa dari Rahmat-Mu,
ya Allah, bukankah begitu?
Lalu kuambil tangan suamiku, meski kaku,
kubimbing ia mendekat kepada Ahmad.
Kubawa tangannya menyisir kepala anaknya,
yang berpuluh tahun tak merasakan
sentuhan tangan seorang ayah yang
didamba.
Dada Ahmad berguncang menerima belaian.
Kukatakan di hadapan mereka berdua,
“Lakukanlah ini, permintaan seorang yang
akan dijemput ajal yang tak mampu
mewariskan apa-apa: kecuali Cinta.
Lakukanlah, demi setiap anak lelaki yang
akan lahir dan menurunkan keturunan demi
keturunan.
Lakukanlah, untuk sebuah perubahan besar
di rumah tangga kita! Juga di permukaan
dunia. Tak akan pernah ada perdamaian
selama anak laki-laki tak diajarkan rasa kasih
dan sayang, ucapan kemesraan, sentuhan
dan belaian, bukan hanya pelajaran untuk
menjadi jantan seperti yang kalian pahami.
Kegagahan tanpa perasaan.
Dua laki-laki dewasa mengambang air di
mata mereka.
Dua laki-laki dewasa dan seorang wanita tua
terpaku di tempatnya.
Memang tak mudah untuk berubah. Tapi
harus dimulai. Aku serahkan bayi Ahmad ke
pelukan suamiku. Aku bilang:
“Tak ada kata terlambat untuk mulai,
Sayang.”
Dua laki-laki dewasa itu kini belajar kembali.
Menggendong bersama, bergantian
menggantikan popoknya, pura-pura
merancang hari depan si bayi sambil tertawa-
tawa berdua, membuka kisah-kisah lama
mereka yang penuh kabut rahasia, dan
menemukan betapa sesungguhnya di antara
keduanya Allah menitipkan perasaan saling
membutuhkan yang tak pernah terungkapkan
dengan kata, atau sentuhan.
Kini tawa mereka memenuhi rongga dadaku
yang sesak oleh bahagia, syukur pada-Mu
Ya Allah! Engkaulah penolong satu-satunya
ketika semua jalan tampak buntu. Engkaulah
cahaya di ujung keputusasaanku.
Tiga laki-laki dalam hidupku aku titipkan
mereka di tangan-Mu.
Kelak, jika aku boleh bertemu dengannya,
Nabiku, aku ingin sekali berkata:
Ya, Nabi. aku telah mencoba sepenuh daya
tenaga untuk mengajak mereka semua
menirumu! aamiin, Alhamdulillah ( Sumber :
resensi.net )
Wabillahi Taufik Wal Hidayah, ...
... Semoga tulisan ini dapat membuka pintu
hati kita yang telah lama terkunci ...

No comments:

Post a Comment