Thursday 6 August 2015

MAIYAH

Refleksi SILATNAS Maiyah

Mengenal keluarga maiyah sejak satu tahun silam, rasanya saya seperti diakselerasi dalam menjalani kehidupan. Sebagai jabang bayi, saya masih tak mengerti apa-apa. Hanya sedikit yang saya pahami, namun rasanya semua seperti nyambung. Secara tidak langsung berproses di maiyah dan jurusan Psikologi membuat saya lebih memahami diri, memahami orang lain dan pada puncaknya bisa sedikit memahami belaian cintaNya. Ibarat air, siapapun kita hari ini, jika dirunut muaranya hanya satu, Laut.
Bermula dari ajakan dr. Chris untuk turut berdiskusi melingkar, mengkaji fenomena masalah bangsa, dikaitkan dengan sains dan agama bersama Relegi (Jamaah maiyah Malang yang berkumpul setiap malam Rebo Legi) di rumah Cak Fuad, Landung Sari. Puncaknya, nilai maiyah benar-benar menyatu ketika mempersiapkan acara seminar Fisika di UIN bersama mas Sabrang, Desember 2013 silam. Pasalnya, di penghujung kata, mas Sabrang berpesan berfokuslah pada yang pasti. Dan yang pasti di dunia ini adalah kematian. Maka, berinvestasilah untuk menyambutnya. Pada inti dari semuanya, puncak dari kepastian adalah ketidakpastian. Di malam itu pula berkesempatan bertemu dengan dokter spesialis anestesi yang mengundurkan diri dari jabatannya karena sistem negeri ini yang tak sesuai dengan hati nurani beliau, dr. Ani.
Meminjam istilah mas Sabrang dalam ilmu Fisika terkait “empty space”, bahwa ternyata 99.9% dari tubuh manusia adalah ruang kosong dan 0.01%-nya terdiri dari materi elektron yang bernama Quark. Susunan elektron dalam otak akan memengaruhi mood yang akan berefek pula terhadap kesadaran. Mas Sabrang pernah menguraikan bahwa 80 % kita berada dalam alam prasadar, yang dalam fenomena orang yang mampu berjalan diatas air ataupun biksu yang dapat terbang, beliau memperjelasnya bahwa tubuh kita sejatinya adalah wadah untuk bisa mencapaiNya. Kita bisa mengoptimalkannya dengan kekuatan pikiran dan meminta pertolongan dari Sang Maha Kuasa. Karena sesungguhnya, kesadaran dan materi itu berbeda ibarat nyawa dengan wadahnya atau jasadnya, pungkas Mas Sabrang dalam seminar fisika di UIN silam.
Tak lama berselang, 26 Mei 2014. Tak menyangka bisa duduk melingkar bersama jamaah maiyah nusantara dalam agenda SILATNAS (Silaturrahmi Nasional) Maiyah di Sentono Arum, desa Menturo, Sumobito, Jombang beberapa hari lalu. Pak Saratri dalam esainya mengungkapkan, “Pengajian Jamaah Maiyah selalu bergerak menuju cahaya, dan selalu berusaha menjaga konsistensi untuk kembali ilaihi roji’un. Ini berarti sebuah gerak menuju ke-fitri-an, kembali ke kesucian. Sehingga dalam keseharian pikiran, ucapan dan tindakan kita benar-benar untuk kebaikan. Sebuah gerak thowaf yang tidak mudah, karena kebanyakan hampir setiap umat yang baru saja selesai melaksanakan ibadah ritual, selalu terjebak ke “watak” aslinya. Kita kembali menjadi manusia remeh yang menomorsatukan kepentingan pribadi di dunia dan keserakahan lainnya. Padahal ia baru saja selesai sholat atau selesai menjalankan ibadah puasa ramadhan.” Sungguh sebuah proses yang luar biasa untuk mencoba menjadi abdi terbaik. Hal itu pulalah yang terjadi dan berproses dalam diri ini.
Dewasa ini, pemenuhan antara kebutuhan jasmani dan rohani tidak berimbang. Banyak orang mengorbankan segala cara agar tenar, memperoleh jabatan yang tinggi, dan meraup uang yang banyak. Menurut Abraham Maslow, tokoh Psikologi, manusia yang hidupnya untuk memenuhi kebutuhan fisiologis seperti sandang, pangan, papan, dan kebutuhan biologis seperti buang air besar, buang air kecil, bernafas, disebut manusia level pertama. Beranjak sedikit setelah itu adalah kebutuhan keamanan dan keselamatan seperti bebas dari penjajahan, bebas dari ancaman, bebas dari rasa sakit, bebas dari terror, manusia level kedua. Naik satu tingkat lagi, pemenuhan kebutuhan sosial semisal memiliki teman, memiliki keluarga, kebutuhan cinta dari lawan jenis. Level manusia keempat adalah manusia yang melakukan apapun untuk memenuhi kebutuhan penghargaan, contoh: pujian, piagam, tanda jasa, hadiah dan manusia level kelima ialah mereka yang telah mampu beraktualisasi diri yakni menggunakan seluruh potensi yang ia punya (waktu, tenaga, pikiran) hanya untuk agar segala sesuatu disekitarnya menjadi teratur dan bahagia tanpa lagi “mempedulikan” nasibnya sendiri.
Pada hakikatnya, manusia level keempat dan kelima hanya berbeda tipis. Jika level keempat motivasi dari semua dilakukan untuk memunculkan dirinya, namun manusia level kelima lebih memilih beraktualisasi dan mengubur dirinya, karena tersadar, puncak kepastian adalah ketidakpastian yang muara dan niatnya pada yang satu, Allah. Lalu, manusia level berapakah yang paling tepat untuk para Jamaah Maiyah?
Menjadi rakyat Indonesia hari ini, kita ibarat berada di tengah-tengah sebuah hutan yang terbakar. Krisis multidimensi dari segi sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, dan akhlak terjadi di semua lini. Saking kompleks dan luasnya, kita tak tahu seberapa banyak yang terbakar dan harus dari mana kita bisa mulai membenahinya. Ketika api terus berkobar, hanya ada dua hal yang dapat kita pilih dan lakukan, pertama dengan heroiknya berusaha menerobos semua api yang berkobar agar segera mampu menyelamatkan yang tersisa dari hutan dan opsi kedua ialah  berusaha memaksimalkan internal, melindungi diri lebih baik dulu baru menyelamatkan orang semampunya. Mana yang akan anda pilih? Dan mana yang lebih mudah?
Untuk tahu cara keluar kita harus mengukur seberapa besar luasnya hutan yg terbakar tapi untuk kondisi sekarang, hal tersebut belum memungkinkan dikarenakan kapasitas kita yang belum memadai. Ibarat burung Rajawali di tengah hutan yang terbakar kemudian memilih pergi ke puncak gunung diusianya yang ke 40 tahun. Ia mematuk semua kuku dan menghilangkan paruhnya. Memilih mengubur diri dengan melumpuhkan diri sendiri. Dalam kondisi terlindung di puncak tertinggi. Menyerahkan diri pada Allah SWT. Menanti waktu yang telah diizinkan dan ditetapkan, ketika api telah usai menghabiskan seluruh pohon dan sumber daya di hutan. Saat itulah, sang Rajawali bisa keluar menjadi teladan, memperbaiki yang telah terserak dan porak-poranda.
Begitulah yang harus kita lakukan, mengupayakan untuk  terus bergerak dengan kapasitas ember masing-masing. Jangan sampai kita turut merasa panas atas suasana yang ada hari ini. Lebih baik, jika kita merasa sudah selamat sesuai yang telah dijanjikanNya, kita mengajak orang terdekat kita, membantu melindungi dan pada koridor yang lebih luas lagi. Tetap menjadi diri sendiri, memberikan pelayanan yang terbaik kapanpun dan dimanapun posisi kita berada.
Pada bulan Maret 1999 saat Menturo mulai bergeliat ekonominya karena maiyah, Cak Nun pernah menyampaikan, menurut beliau filosofinya ibarat masuk hutan rimba: penuh rahmat, jebakan, duri, dan kotoran. “Saya masuk bukan untuk berusaha menghindari jebakan, kotoran, atau duri. Saya mencari rahmat di ujung perjalanan ini: bertemu Allah. Jadi, saya tidak punya target apa-apa. Setiap yang saya temui di hutan rimba itu, saya syukuri. Tidak ada rencana membikin sejarah melalui Padhang Mbulan ini.”
Dari uraian diatas, kiranya kita dapat menyadari dimana posisi kita semestinya dan menuju kearah mana kita seharusnya. Untuk membantu memadamkan api, sesuai dengan tiga level amanat Maiyah yang pernah Cak Nun sampaikan, level pertama kita menjadi individu dan harus membentuk keluarga yang benar; hasilnya ketenteraman dan kelancaran bekerja serta belajar. Level kedua menyebarkan kesadaran Maiyah dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Dan Level ketiga diranah yang lebih luas lagi.
Dedicated from Nafisatul Wakhidah
(Penggiat Relegi – Simpul Maiyah Malang)
7 Juni 2014  11:05 PM

No comments:

Post a Comment